Perjalanan hidup terasa sangat mengasyikkan. Sayang engkau tak duduk di sampingku kawan. Banyak cerita yang mestinya kau saksikan. Dari ternak puyuh sampai ternak rumah….(Jadi ingat lagu Ebiet).
Menjadi peternak burung puyuh juga salah satu dari pengalaman hidup saya yang cukup menarik. Karena menarik, maka saya ceritakan secara singkat saja, sebab masih banyak yang mau diceritakan.
Dari sejak menetas, burung puyuh perlu waktu 35 hari saja untuk bertelur kembali. Untuk penetasan, telur burung puyuh yang fertil (sudah dibuahi oleh pejantan) perlu waktu 15-17 hari saja di inkubator. Saya lebih suka jadi tukang tetas saja. Saya buat mesin tetas sendiri. Caranya mudah sekali, buat kotak dari triplek, taruh lampu lima watt beberapa buah (tergantung ukuran kotak), kemudian sambungkan ke termostat. Termostat adalah alat untuk mengatur suhu udara. Kalau suhu sudah 38 drajat celsius, maka lampu akan mati secara otomatis. Kalau tidak pakai termostat, suhu akan memanas dan anak burung akan mati atau menetas dalam keadaan cacat.
Sebelum meletakkan telur tetas di mesin penetas, pastikan dulu bahwa telur itu memang untuk ditetaskan bukan telur untk dikonsumsi. Peternak puyuh memproduksi telurnya 2 jenis. Yaitu jenis telur yang untuk di konsumsi dan telur yang untuk ditetaskan.
Telur yang untuk dikonsumsi tidak perlu ada pejantannya. Atau, kalaupun ada cuma satu pejantan untuk melayani 50 ekor betina. Itu sebabnya telur konsumsi akan tahan lama (15 hari), tidak akan busuk. Kalau disimpan di kulkas akan tahan sebulan lebih.
Telur yang akan ditetaskan diambil dari betina puyuh yang memang sudah dicampur dengan jantan. Lima puyuh betina akan dicampur dengan seekor pejantan. Pejantannya harus dari pejantan yang tangguh. Sebab akan mempengaruhi kesehatan telur dan produktivitas burung puyuh.
Telur yang akan ditetaskan harus cepat2 dimasukkan ke dalam inkubator (mesin tetas), sebab dalam 3 hari saja telur akan busuk. Itu bedanya telur untuk ditetaskan dengan telur yang untuk dikonsumsi.
Saya punya 4 inkubator yang masing2 kapasitasnya 700-1000 butir telur puyuh. Dalam sehari telur itu harus dibolak balik sebanyak 3 kali. Dibawah rak telur juga diletakkan baki yang diisi air untuk menjaga kelembaban udara.
Kalau telur sudah mulai menetas, waah…ramainya minta ampun. Kadang telur2 itu menetas jam 2 pagi. Bunyi ciap2 anak burung puyuh membuat saya terbangun dari tidur. Karena senang, saya tidak merasa capek. Apalagi alat itu alat buatan saya sendiri. Tuhan Maha Kuasa, dia ciptakan mahluk hidup dari yang mati. Bukankah lima belas hari yang lalu telur2 itu tidak dapat bergerak dan tidak dapat bersuara. Tetapi dengan perlakuan tertentu telur2 itu sudah menjadi mahluk hidup yang mungil.
Burung puyuh yang betina dipisahkan dari burung puyuh yang jantan. Yang betina akan dipaksa menjadi mesin pencetak telur. Sedangkan yang jantan akan dijadikan mesin pencetak daging. Jadiu ada puyuh petelur dan ada juga puyuh pedaging. Betina yang sudah tidak produktif juga akan dipotong penjadi pedaging. Biasanya umur setahun betina sudah mulai turun produktivitasnya.
Dari usaha ternak puyuh ada yang spesialis menjadi peternak penetas telur, ada yang memilih menjadi peternak petelur atau pedaging atau kesemuanya. Tergantung keadaan dan kemampuan si peternak. Saya lebih suka jadi penetas saja. Telur puyuh saya beli seharga Rp 200,- dalam 15 hari anak puyuh itu sudah menjadi Rp 2000,; saat itu tahun 1997. Kalau sekarang mungkin sudah tidak dapat lagi. Sebab harga telur konsumsi saja sekarang Rp 350,; padahal dulu cuma 100 rupiah saja.
Saya juga pernah ternak itik (bebek). Bahkan saya pernah melatih peternak itik di Bangka. Saya beli bibit itik (DOD = Day Old Duck) dari Cirebon. Jadi anak itik itu dari Cirebon ke Bangka naik pesawat. Dalam waktu 5 bulan itik sudah mulai bertelur. Prinsipnya sama dengan burung puyuh.
Tahun 1998 terjadi krisis ekonomi, harga pakan ternak naik gila2an. Banyak peternak gulung tikar saat itu. Maka saya beralih menjadi “ternak teri” (anter anak dan anter istri).
Saya terus menjadi “Peternak Rumah”. Pengalaman membangun rumah pertama kali pada tahun 1988. Harga semen waktu cuma Rp. 2700,; Dari ngumpul2 modal itulah saya bisa beli tanah dan bangun2 rumah.
Sekarang harga semen sudah Rp. 51.000,- Saya baru saja selesai bangun satu rumah di Bogor. Capek juga bangun rumah, apalagi kalau tukangnya susah diatur. Karena capek saya sekarang “ternakmahasiswa” saja.
Kembali ke habitat. Dagang ilmu, alias ngajar…. santai aja dapat duitnya banyak, hehe…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar